BENGKULU-Kepala Museum Negeri Bengkulu Ahadin mengatakan, penerjemah naskah
kuno yang ditulis dengan aksara Kaganga semakin langka sehingga banyak
koleksi museum yang belum diterjemahkan.
"Hingga saat ini hanya
Profesor Sarwit Sarwono dari Universitas Bengkulu yang pernah
menerjemahkan sejumlah naskah kuno aksara Kaganga koleksi museum,"
katanya di Bengkulu, Sabtu.
Aksara Kaganga adalah huruf daerah Bengkulu.
Minimnya
penerjemah naskah kuno yang sebagian besar diperoleh dari tangan
masyarakat tersebut, katanya, membuat baru 5 persen dari 126 koleksi
naskah kuno yang ada di museum itu.
Hingga saat ini, kata dia, baru 10 naskah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagian besar naskah kuno tersebut juga tidak diketahui identitas penulisannya (anonim).
Koleksi
naskah kuno yang sudah diterjemahkan tersebut, antara lain, berisi
pantun, ramuan obat, sejarah, dan wejangan yang sudah berumur puluhan,
bahkan ratusan tahun.
"Koleksi ini sangat berharga. Tetapi
kelemahannya, penerjemah sangat minim. Pak Sarwit juga membawa naskah
itu ke daerah asalnya dan mencari orangtua yang masih bisa mengerti
aksara Kaganga," ujarnya.
Selain keterbatasan penerjemah, ketersediaan anggaran juga menjadi kendala untuk menerjemahkan naskah kuno tersebut.
Keterbatasan
anggaran tersebut membuat kegiatan penerjemahan naskah kuno dilakukan
terakhir tahun 2003. "Sejak itu belum pernah ada lagi kegiatan
penerjemahan naskah kuno karena kendala dana, setidaknya kami
membutuhkan Rp 150 juta hingga Rp 200 juta," ujarnya.
Anggaran
tersebut, selain menerjemahkan naskah kuno yang membutuhkan bantuan dari
masyarakat yang masih mengenal aksara Kaganga, juga untuk mencetak
terjemahan tersebut.
Ahadin mengaku selalu mengusulkan anggaran
tersebut setiap tahun dalam APBD provinsi, tetapi belum terealisasi.
"Kami berharap pemerintah daerah juga memerhatikan kegiatan menggali
informasi dari naskah kuno yang ditulis nenek moyang kita karena banyak
ilmu dan pelajaran yang tercantum di dalamnya," katanya.
Selain
naskah kuno, museum yang berdiri di atas lahan seluas 9.974 meter
persegi tersebut juga menyimpan 6.000 koleksi lainnya, antara lain
tenunan kain tradisional Bengkulu dan mesin cetak Drukkey Populair
dengan merek "Golden Press" yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk
mencetak "uang merah".
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment