Pages

Sunday, January 20, 2013

AKSARA KAGANGA

BENGKULU-Kepala Museum Negeri Bengkulu Ahadin mengatakan, penerjemah naskah kuno yang ditulis dengan aksara Kaganga semakin langka sehingga banyak koleksi museum yang belum diterjemahkan.
"Hingga saat ini hanya Profesor Sarwit Sarwono dari Universitas Bengkulu yang pernah menerjemahkan sejumlah naskah kuno aksara Kaganga koleksi museum," katanya di Bengkulu, Sabtu.
Aksara Kaganga adalah huruf daerah Bengkulu.
Minimnya penerjemah naskah kuno yang sebagian besar diperoleh dari tangan masyarakat tersebut, katanya, membuat baru 5 persen dari 126 koleksi naskah kuno yang ada di museum itu.
Hingga saat ini, kata dia, baru 10 naskah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagian besar naskah kuno tersebut juga tidak diketahui identitas penulisannya (anonim).
Koleksi naskah kuno yang sudah diterjemahkan tersebut, antara lain, berisi pantun, ramuan obat, sejarah, dan wejangan yang sudah berumur puluhan, bahkan ratusan tahun.
"Koleksi ini sangat berharga. Tetapi kelemahannya, penerjemah sangat minim. Pak Sarwit juga membawa naskah itu ke daerah asalnya dan mencari orangtua yang masih bisa mengerti aksara Kaganga," ujarnya.
Selain keterbatasan penerjemah, ketersediaan anggaran juga menjadi kendala untuk menerjemahkan naskah kuno tersebut.
Keterbatasan anggaran tersebut membuat kegiatan penerjemahan naskah kuno dilakukan terakhir tahun 2003. "Sejak itu belum pernah ada lagi kegiatan penerjemahan naskah kuno karena kendala dana, setidaknya kami membutuhkan Rp 150 juta hingga Rp 200 juta," ujarnya.
Anggaran tersebut, selain menerjemahkan naskah kuno yang membutuhkan bantuan dari masyarakat yang masih mengenal aksara Kaganga, juga untuk mencetak terjemahan tersebut.
Ahadin mengaku selalu mengusulkan anggaran tersebut setiap tahun dalam APBD provinsi, tetapi belum terealisasi. "Kami berharap pemerintah daerah juga memerhatikan kegiatan menggali informasi dari naskah kuno yang ditulis nenek moyang kita karena banyak ilmu dan pelajaran yang tercantum di dalamnya," katanya.
Selain naskah kuno, museum yang berdiri di atas lahan seluas 9.974 meter persegi tersebut juga menyimpan 6.000 koleksi lainnya, antara lain tenunan kain tradisional Bengkulu dan mesin cetak Drukkey Populair dengan merek "Golden Press" yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk mencetak "uang merah".

Friday, January 18, 2013

Tentang Suku Serawai

Suku Serawai

Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi kedua terbesar yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup. (http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Serawai).

Sedangkan Serawai Menurut Arsyid Mesatip ( Mantan Ketua BMA Bengkulu Selatan ), suku serawai adalah masyarakat pemakai Bahasa yang hampir setiap katanya menggunakan kata "Au".berdasarkan sumber dari buku yang ditulis oleh Kiagus Husen dalam bukunya "Simbur Cahaya Bangkahulu",tahun 1938. dalam buku tersebut mengatakan bahwa adat lembaga serawai ini terpakai di distrik Pino, Ulu Manna, Manna, dan Bengkenang yaitu dalam : Marga Anak Gumai, Marga Tanjung Raya, Marga VII Pucukan, Marga Anak Lubuk Sirih, Marga Anak Dusun Tinggi, Sumbai Besar Manna, Sumbai Kecil Manna dan Luar Khalifah Manna. Dalam buku Simbur Cahaya Bangkahulu juga disebutkan oleh kepala-kepala marga dalam Onder afdeeling Manna pada tanggal 7 juli 1913 telah ditetapkan adat lembaga dalam Onder afdeeling Manna yang di sah kan oleh Resident Bengkoelen dd.18 November 1911 No. 456 dan tanggal 12 Desember 1913 No. 577 yang meliputi 4 daerah ( 4 macam adat lembaga ) :

1. UU Adat Lembaga Pasar Manna :
DIpakai di pasar pino, pasar manna dan pasar padang guci.
2. UU Adat Lembaga Serawai :
Dipakai di distrik Pino, Ulu Manna, Manna, dan Bengkenang yaitu dalam : Marga Anak Gumai, Marga Tanjung Raya, Marga VII Pucukan, Marga Anak Lubuk Sirih, Marga Anak Dusun Tinggi, Sumbai Besar Manna, Sumbai Kecil Manna dan Luar Khalifah Manna.
3. UU Adat Lembaga Pasemah Ulu Manna :
Dipakai di Marga Ulu Lurah Ulu, Ulu Lurah Ilir, Sumbai Besar Rabu Semat, Sumbai Besar Semat Puro.
4. UU Adat Lembaga Pasemah cara kedurang dan padang guci :
dipakai di marga tanjung buntar, Ulu LUrah Kedurang, semidang mulak kedurang, sumbai besar kedurang, sumbai besar padang guci, semidang mulak padang guci, luar khalifah padang guci dan anak kelampaian.

Aksara Serawai














Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya aksara kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini.
 

Blogger news

Blogroll

About